Keberadaan Polri dan Kejaksaan tidak mampu membendung derasnya korupsi di Indonesia sehingga dibentuklah KPK. Tetapi alih-alih korupsi sirna malah terjadi fenomena Gayus. Ada apa ini? Seriuskah pemerintah memberantas korupsi? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo dengan Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Setiap 9 Desember Indonesia turut merayakan Hari Anti Korupsi Sedunia tetapi mengapa korupsi malah semakin marak?
Karena yang dilakukan hanya sebatas seremonial. Ada seminar anti korupsi dibuka oleh presiden. Ada Hari Anti Korupsi, semua memperingati. Tetapi tidak ada langkah-langkah yang justru diperlukan dalam penanggulangan korupsi itu.
Apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan itu?
Pertama, teladan dari pemimpin. Teladan itu tidak ada. Korupsi itu kan sebenarnya menyangkut prilaku, sedangkan prilaku sangat terkait dengan kebiasaan, kebiasaan ditentukan oleh lingkungan. Dalam budaya patrialistik seperti di Indonesia ini, lingkungan itu dipengaruhi oleh teladan pimpinan.
Teladan yang ada sekarang ini justru pimpinan yang mengajari korupsi. Dirjen korup karena menterinya korup, menteri korup karena tahu presidennya korup, begitu! Jadi sebenarnya Gayus itu hanya fenomena kecil. Tidak mungkin Gayus itu melakukan begitu kalau dia tidak tahu atasannya melakukan korupsi.
Kedua, tidak ada hukuman yang setimpal. Hampir semua terpidana korupsi itu hanya divonis tiga sampai empat tahun. Dapat remisi dan remisi jadi dipenjaranya hanya sekitar satu tahun. Tidak ada yang dihukum mati.
Ketiga, tidak ada pembuktian terbalik. Semua persidangan korupsi hakimnya yang harus membuktikan bahwa secara materiil yang bersangkutan korupsi. Lha, mana ada sekarang koruptor yang meninggalkan jejak! Sekarang ini kan bukti transfer tidak ada, cek tidak ada, semuanya itu kontan dari tangan ke tangan. Kalau perlu penyelesaiannya dilakukan di luar negeri.
Tetapi kalau pembuktian terbalik itu bisa dilakukan, jadi bukan hakim lagi yang harus membuktikan, tetapi yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa harta yang didapatnya itu diperoleh dengan cara yang halal.
Nah, tiga poin ini yang justru tidak dilakukan. Bahkan pasal pembuktian terbalik dihapus dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Siapa yang menghapus? Anggota DPR. Mengapa anggota DPR menghapus? Karena anggota DPR juga takut kalau delik dalam pasal tersebut kena ke dirinya.
Itu berarti menunjukkan ketidakseriusan dalam memberantas korupsi kan? Pemerintah diam saja melihat kelakukan DPR seperti itu. Karena pemerintah juga tahu kalau ada pasal pembuktian terbalik dirinya juga kena.
Kalau dalam sudut pandang Islam keseriusan memberantas korupsi ditunjukkan dengan apa?
Tiga poin di antaranya kan sudah disebut tuh barusan. Itu semua ada teladannya di masa Nabi Muhammad SAW dan para khalifah. Contoh di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Sebelum aparat negara menjabat, dihitung dulu harta kekayaannya. Di akhir jabatannya dihitung lagi, jika ada kelebihan dan si pejabat itu tidak dapat membuktikan bahwa kelebihannya itu diperoleh dengan cara halal, kelebihan tersebut diambil atau dibagi dua dengan kas negara.
Mengapa harus pakai solusi syariah, toh Singapura tidak pakai Islam bisa berantas korupsi?
Kita ini tidak bicara hanya soal korupsi. Tetapi berbicara tentang sebuah sistem, sebuah pengaturan yang satu aspek dengan aspek lainnya itu mempunyai hubungan. Memang di dalam satu hal, mengenai korupsi, di sejumlah negara, katanlah di Singapura dan Swiss, angka korupsi itu bisa ditekan seminimal mungkin padahal tidak pakai syariah.
Tetapi sebenarnya Singapura dan Swiss ini telah kehilangan nilai transendental. Artinya, mereka tidak korupsi itu karena semata-mata takut kepada hukuman yang diterapkan oleh negaranya itu serta tidak menjadikannya sebagai bagian dari ibadah. Kalau kita menggunakan syariah maka kesediaan kita untuk tunduk kepada aturan-aturan yang terkait dengan pemberantasan korupsi itu bernilai ibadah.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar