Selasa, 12 November 2013

Kebijakan Negara Khilafah Terhadap Spionase Negara Kafir


Oleh: Hafidz Abdurrahman 
Penyadapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap negara-negara lain terbongkar. Salah satu sasarannya adalah Jakarta. Tidak hanya pejabat pemerintah yang disadap, diberitakan adanya lebih dari 70 juta rakyat Indonesia yang dikuping percakapannya. Bukan hanya itu, AS juga melakukan penyadapan terhadap 7,8 milyar kali di Saudi dan Irak; 1,8 milyar kali di Mesir; 1,6 milyar di Yordania; 1,7 milyar di Iran, dan lain-lain. Semuanya ini membuktikan, bahwa tindakan AS melakukan spionase ini bukanlah isapan jempol belaka, tetapi nyata adanya.
Meski ini bukan hal baru di dunia intelijen, namun kasus ini sengaja diekspos oleh negara-negara lain, karena mereka membutuhkan dukungan global untuk menghentikan tindakan AS, setidaknya terhadap negaranya. Seperti yang dilakukan oleh Jerman dan Uni Eropa, misalnya. Kita masih ingat, sebelumnya Snowden telah membongkar kasus ini, termasuk penyadapan terhadap SBY, namun segera isu itu ditepis. Tetapi sekarang, semuanya rame-rame “menggugat” AS.
Terlepas dari reaksi terhadap isu ini, yang jelas penyadapan ini merupakan bentuk lain dari aksi spionase (mata-mata) yang dilakukan oleh AS terhadap lawan-lawan politik riil dan potensialnya. Informasi Snowden dan informasi-informasi sejenisnya lainnya membuktikan, bahwa tindakan AS bukan isapan jempol.
 Memposisikan AS, dan Negara Penjajah Lainnya
Untuk menyikapi insiden ini, pertama-tama yang harus dilakukan oleh negara adalah memosisikan AS dalam konteks geopolitik dunia, dalam hubungannya dengan negara khilafah. Ini tentu tidak lepas dari mindframe (kerangka berpikir) apa yang digunakan untuk melihatnya. Tentu akan lebih mudah, jika kita mendudukkan AS dan khilafah, dengan menggunakan Islam, ketimbang mindframe yang lain.
Dalam pandangan Islam, geopolitik dunia dibagi menjadi dua: dar al-Islam (wilayah Islam) dan dar al-kufr (wilayah kufur). Seluruh wilayah negara khilafah adalah dar al-Islam (wilayah Islam), sedangkan di luar itu merupakan dar al-kufr (Wilayah Kufur), termasuk AS. Bahkan, AS merupakan dar al-harb al-muharibah fi’lan, negara kafir yang nyata memerangi Islam dan khilafah.
Negeri-negeri kaum Muslim, baik yang telah bergabung dengan negara khilafah maupun belum, adalah  bilad islamiyyah(negeri Muslim). Negeri-negeri Muslim ini jumlahnya banyak, lebih dari 50 negara. Dengan tidak adanya khilafah yang memayungi mereka, maka wilayah-wilayah ini termasuk dalam kategori dar al-kufr (wilayah kufur). Tetapi, dengan adanya khilafah, wilayah-wilayah ini akan disatukan dalam satu negara, dan kembali menjadi dar al-Islam (wilayah Islam).
Selain itu, negeri-negeri Muslim yang berjumlah lebih dari 50 itu, saat ini berada dalam cengkraman negara-negara kafir penjajah. Ada yang dijajah oleh AS, Inggris, Prancis maupun Rusia. Meski secara fisik merdeka, tetapi negeri-negeri Muslim ini belum lepas dari cengkraman negara-negara kafir penjajah. Inilah yang sesungguhnya menjadi alasan, mengapa negara-negara penjajah itu melakukan mata-mata terhadap berbagai aktivitas penguasa di negeri tersebut, tidak lain untuk memastikan, bahwa mereka dan negerinya tidak jatuh ke tangan negara penjajah yang lain, atau bergabung dengan khilafah.
Karena dengan bergabungnya negeri-negeri tersebut dengan khilafah, maka ini akan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan penjajahan mereka di negeri-negeri Muslim tersebut, sekaligus mengakhiri hegemoni mereka di dunia. Karena itu, mereka terus-menerus melakukan spionase terhadap negeri-negeri Muslim ini, termasuk para penguasanya, serta rakyatnya yang berpotensi menjadi ancaman mereka.
Karena itu, umat Islam, termasuk para penguasa kaum Muslim, di dalamnya termasuk aparat keamanan di setiap negeri Islam, harus mempunyai mindframe dan kesadaran politik yang benar. Kerangkan berpikir dan kesadaran politik yang membuat mereka, dan umat ini melek terhadap setiap tindakan, dan manuver yang dilakukan oleh negara-negara kafir penjajah terhadap negeri mereka, dan diri mereka sendiri. Ini penting, karena dari sinilah, mereka akan bisa membebaskan diri dan negerinya dari jeratan negara kafir penjajah, seperti AS, Inggris, Prancis dan yang lainnya.
Negara Kafir Harbi Fi’lan, Hukman dan Mu’ahad
Klasifikasi di atas, diikuti dengan klasifikasi berikutnya oleh para ulama. Mereka membedakan lagi, antara daulah muharibah fi’lan, hukman dan mu’ahadahDaulah muharibah fi’lan adalah negara kafir yang terang-terangan memusuhi Islam dan kaum Muslim. Contohnya, seperti AS, Inggris, Prancis, Rusia dan Cina. Kondisi ini bisa berubah, mengikuti kebijakan politik negara-negara itu terhadap Islam dan kaum Muslim di seluruh dunia.
Sedangkan daulah muharibah hukman adalah negara-negara kafir yang dihukumi sebagai musuh Islam dan kaum Muslim, tetapi tidak secara terang-terangan melakukan permusuhan. Dihukumi demikian, karena mereka tidak terikat dan mengikatkan diri dalam perjanjian damai dengan negara Islam. Contohnya, Jepang, Korea Selatan, misalnya. Terkahir adalah daulah mu’ahadah, negara yang terikat dan mengikatkan diri dalam perjanjian damai dengan negara Islam. Negara seperti ini, sebenarnya termasuk dalam kategori muharibah hukman, terutama ketika masa perjanjiannya telah berakhir.
Sikap politik dasar negara Islam (Khilafah) terhadap semua negara tadi pada dasarnya adalah “hubungan perang”. Meski secara riil, belum tentu berperang. Namun, sikap dasar ini penting untuk ditegaskan agar senantiasa muncul kesadaran dan kewaspadaan terhadap negara-negara tersebut. Dengan sikap dasar ini, maka strategi pertahanan dan keamanan negara bisa dibangun dengan tepat dan efektif.
Misalnya, ketika AS, Inggris, Prancis, Rusia dan Cina ditetapkan sebagai negara kafir harbi fi’lan, berarti hubungan yang terjadi antara negara Islam dengan mereka adalah hubungan perang, bukan hubungan damai, apalagi persahabatan. Dalam kondisi hubungan perang, maka hubungan diplomatik antara kedua negara pasti tidak ada. Kedutaan mereka di negeri-negeri kaum Muslim juga tidak ada. Ketika ada warga negara mereka yang memasuki wilayah negeri-negeri kaum Muslim, maka mereka ditetapkan sebagai musta’min (orang yang masuk dengan visa). Itupun dengan catatan, bahwa mereka masuk untuk belajar Islam, bukan yang lain. Jika mereka melakukan mata-mata, maka mereka bukan hanya wajib dideportasi, tetapi bisa juga dijatuhi hukuman mati.
Hal yang sama, bisa diberlakukan kepada warga negara yang lain, di luar kafir harbi fi’lan. Dengan demikian, kontrol negara terhadap warga negara asing yang memasuki wilayahnya menjadi jelas. Karena ada patokan dan standar yang jelas. Dengan demikian, maka peluang mereka untuk melakukan aksi spionase bisa dengan mudah dicegah.
 Strategi Pertahanan dan Informasi
Jika mindframe, sikap dasar, patokan dan standar tersebut diterapkan, sebenarnya masalah ancaman terhadap pertahanan dan keamanan dari luar lebih mudah dideteksi. Tinggal akses informasi dan komunikasi di dalam negeri yang menjadi sumber ancaman terhadap pertahanan dan keamanan. Juga sistem informasi dan komunikasi melalui jaringan satelit.
Dalam konteks yang terakhir ini, dibutuhkan kerja keras negara. Meski ada yang mengatakan, tidak mungkin akses informasi dan komunikasi bisa ditutup, apalagi di era seperti ini. Pernyataan seperti ini sekilas memang benar. Tetapi, kalau pun ini terjadi, justru ini menjadi tantangan bagi negara khilafah, untuk menciptakan teknologi yang bisa mengontrol semuanya tadi. Terlebih dengan kebijakan luar negeri khilafah, yang tidak membolehkan adanya hubungan luar negeri yang dilakukan oleh siapapun, kecuali oleh negara khilafah.
Kebijakan ini, mau atau tidak, menuntut khilafah untuk membangun teknologi informasi dan komunikasi yang bisa mendukung kebijakannya itu. Jika tidak, maka ini akan menjadi pintu aksi-aksi spionase, yang pasti akan membahayakan eksistensinya.
 Kesimpulan
Dengan demikian, memang sulit membendung, apalagi mengatasi aksi spionase di negeri-negeri kaum Muslim, di seluruh dunia, jika mindframe, sikap dasar, patokan dan standar yang digunakan tidak jelas seperti saat ini. Padahal, dengan Islam dan tentu khilafah, semua persoalan tadi bisa diselesaikan.
Apalagi, jika yang digunakan sebagai mindframe, sikap dasar, patokan dan standar yang digunakan, baik oleh umat Islam maupun penguasanya adalah asas manfaat. Mengapa? Karena asas manfaat ini tidak jelas standarnya, menurut siapa, apa ukurannya? Juga tidak jelas.
Perlu diperhatikan, digunakannya asas manfaat sebagai mindframe, sikap dasar, patokan dan standar dalam hubungan dengan negara lain, membuktikan, bahwa sebuah negara itu tidak mempunyai akidah (ideologi). Inilah yang terjadi di seluruh negeri kaum Muslim.
Memang umat Islam mempunyai akidah Islam, tetapi akidah itu tidak digunakan sebagai dasar, dan mindframe, yang dengannya kemudian terbentuk sikap dasar, patokan dan standar halal-haram. Inilah yang menjadi masalah mendasar dari kasus-kasus yang terjadi tadi. Karena itu, dari sinilah, sesungguhnya masalah ini harus diselesaikan. Jika tidak, mustahil bisa diselesaikan. Wallahu a’lam. []

Kamis, 07 Maret 2013


Demokrasi Sistem Kufur

Tahun 2013 merupakan tahun pemanasan politik di Indonesia karena tahun 2014 akan digelar hajatan Pemilihan Umum (Pemilu). Demokrasi pun masih dianggap kompatibel diterapkan di Indonesia. Padahal mayoritas penduduknya adalah umat Islam.
Umat masih silau dengan janji demokrasi berupa keadilan dan kesejahteraan. Sebaliknya, mereka takut dicap anti-demokrasi.
Terdapat juga di kalangan umat yang menyamakan Islam dengan demokrasi. Bahkan ada yang memaksakan Demokrasi-Islam  sebagai tambal sulam dari Demokrasi-Kapitalisme yang gagal.

Rabu, 06 Maret 2013


Ilusi Demokrasi (1)



Orang sering mengatakan, apapun sistem politiknya, yang penting rakyat sejahtera. Dari sekian sistem politik yang ada, demokrasi dipercaya sebagai sistem politik terbaik yang akan mewujudkan misi itu. Bukan benar-benar terbaik, tetapi terbaik di antara yang buruk (the best among the worst).